Jumat, 23 April 2010

Pidato Kita

Contoh Pidato - SEMUA yang hadir mendengar ataupun menyaksikan pidato politik Megawati dalam pembukaan Kongres III PDIP di Sanur Bali, akan diliputi perasaan ‘campur aduk’. Banyak substansi pidato Mega itu yang mengejutkan. Namun, ada juga substansi pidato yang cenderung datar, melebar, mengulang, menyerang atau bahkan menampilkan sisi melo-dramatik khas Mega.

Disebut mengejutkan karena dua hal: pertama, Pidato Mega berani melakukan kritik otokritik secara terbuka terhadap performa partai dalam sepuluh tahun terakhir. Mega secara gamblang menyebutkan kemerosotan suara PDIP dalam Pemilu 2004 maupun 2009 merupakan muara dari kegagalan melakukan konsolidasi organisasi dan pelembagaan partai mulai dari rendahnya kecakapan, tidak adanya media partai untuk menggalang opini, tidak adanya data base dan keterbatasan sumber pembiayaan. Juga kelangkaan kepemimpinan, pengaturan kelembagaan terpusat pada satu tiang, kurangnya sinergi antar-tiang penyangga, problem kaderisasi dan belum terlembaganya sistem rekrutmen. Dari semua otokritik itu yang paling menarik adalah ketika Mega menyoroti secara khusus rendahnya disiplin warga PDIP yang ditandai dengan hilangnya semangat aktivisme dan voluntarisme dalam elan berpolitik digantikan pertimbangan untung rugi dan model-model berpolitik transaksional. Dalam model
transaksional, partai selanjutnya dilihat sebagai alat akumulasi ekonomi dan transportasi yang cepat untuk keuntungan ekonomi individual.

Kedua, dalam pidatonya Megawati secara mengejutkan berani keluar dari perdebatan soal koalisi dan oposisi dengan membawa kembali wacana partai ideologis. Dalam pernyataannya, Mega mengkritik pada proses reduksi berpolitik sebagai perebutan dan pembagian kekuasaan antar-kekuatan politik ataupun antar-elite politik. Bagi Mega, tujuan berpartai seharusnya diletakkan sebagai alat perjuangan ideologis, dimana politik berpartai adalah sarana kebudayaan rakyat untuk mewujudkan kedaulatan politik, berdikari ekonomi dan berkebudayaan. Dan bagian yang paling penting dalam pernyataannya, Megawati menegaskan urgensi posisi PDIP sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang, yang dilakukan dengan mengajukan berbagai alternatif kebijakan.
Selain ada sisi yang mengejutkan, pidato politik Mega juga terdengar datar dan mengulang ketika Mega menyampaikan bahwa kemerosotan suara PDIP adalah juga produk penyelenggaraan demokrasi yang manipulatif. Megawati terkesan masih mempersoalkan Pemilu 2009 sebagai pemilu yang telah mendemonstrasikan watak manipulatif. Dan bahkan menyebut Pemilu 2009 meninggalkan catatan hitam dalam sejarah politik Indonesia. Apa yang disampaikan Mega ini tentu saja mengulang berbagai pernyataan politik yang pernah dikeluarkan menanggapi hasil Pemilu 2009.

Dalam pidatonya Mega juga terlihat ‘menyerang’ terhadap kecenderungan cara berpolitik elite yang memenangkan pertarungan. Terkesan sekali pernyataan itu ditujukan pada cara berpolitik SBY. Ada beberapa poin pernyataan Mega yang arahnya mengkritik perilaku politik elite: pertama, kecenderungan menggunakan politik sebagai melodrama seperti sinetron yang sarat belas kasihan dan kepura-puraan. Kedua, penekanan yang berlebihan pada citra yang sangat mengandalkan pada popularitas seperti terekam dalam survey serta penggunaan indeks kepuasan sebagai ukuran terpenting dalam pengambilan keputusan. Ketiga, Mega menyoroti secara khusus kekacauan pengelolaan pemerintahan yang nampak dari kasus Bank Century. Dan Mega menuntut Presiden untuk menunaikan kewajiban konstitusionalnya untuk menuntaskan kasus Bank Century.

Dan terakhir, pidato Mega adalah pidato yang menampilkan sisi emosional Mega. Ada dua momen dalam pembacaan pidato yang memperlihatkan Mega menangis. Momen pertama ketika Mega mengucapkan kembali kata-kata Bung Karno: ”Majulah terus, jangan mundur, mundur hancur, mandeg ambleg: bongkar, maju terus, kita tak bisa dan tak boleh berbalik lagi. Kita telah mencapai point of no return”. Momen kedua adalah tatkala Mega menyampaikan terima kasih pada daerah-daerah yang telah mampu mempertahankan serta menaikkan perolehan suara dalam Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden.
Akhirnya, bagi pengamat dan peserta kongres, pidato Mega justru menjadi semacam anti klimaks karena berbagai hal yang diperdebatkan dalam minggu-minggu terakhir menjelang kongres-seperti wacana oposisi dan koalisi, mendapatkan gambaran posisi politik yang diambil oleh Mega dalam pidato ini. Pidato politik tentu saja mempunyai pengaruh pada sikap politik yang akan dikeluarkan oleh PDIP. Semangat untuk mengambil pilihan oposisi tidak saja nampak jelas dalam pidato Mega, namun juga terbaca dari bunyi spanduk, poster dan baliho yang tersebar di lokasi acara kongres. Sebagian besar spanduk yang dipasang Dewan Pengurus Cabang menyuarakan kehendak kuat akar rumput untuk memilih PDIP menjadi kekuatan oposisi. Dan akhirnya pidato Mega memberi jawaban atas kehendak akar rumput itu.

Setelah wacana koalisi-oposisi selesai, pertarungan dalam kongres akan bergeser pada perebutan posisi strategis. Namun sepertinya pertarungan itu coba diminimalisir dengan menjadikan Mega sebagai formatur tunggal. Keputusan menetapkan Mega menjadi formatur tunggal ini jelas memiliki kalkulasi politik karena dimaksudkan untuk untuk mencegah pertarungan yang meluas dalam pengisian kepengurusan dan tentu saja terlihat keinginan menjaga soliditas partai. Begitupula dengan pemberian kewenangan prerogratif pada Mega untuk melakukan penonaktifan pengurus DPP yang melanggar aturan partai.

Dengan demikian, Kongres III PDIP di Bali sesungguhnya menjadi arena pengukuhan Mega sebagai patron tunggal dalam dinamika proses politik internal PDIP. Pertanyaan berikutnya: ”apakah model patron tunggal seperti ini akan menghindari PDIP dari faksionalisme yang tajam dan selanjutnya mencegah kemerosotan suara dalam Pemilu 2014? Ataukah: ”model patron tunggal ini justru menimbulkan implikasi politik yang berulang dalam siklus lima tahunan di PDIP?” Pertanyaan itu penting untuk diajukan karena dalam Kongres PDIP pertama di Semarang dan kedua di Bali, titik episentrum perpecahan PDIP justru dimulai dari pengukuhan Mega sebagai patron tunggal. Kita tunggu saja kelanjutannya. (Penulis adalah Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar